Pucuk dicinta ulam pun tiba. Pepatah lama ini begitu tepat
untuk mengambarkan suasana yang dirasakan oleh kelompok tenun tradisional
sarung di Desa Leu Kecamatan Bolo Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat. Betapa
tidak, pengarajin sarung khas daerah Bima itu mengalami peningkatan pendapatan.
Naiknya keuntungan penenun tersebut lantaran adanya keterlibatan BUMDesa
Landoli, yang dibentuk oleh Pemerintah Desa dan masyarakat setempat.
Kerajinan tenun sarung tradisional merupakan keterampilan
diperoleh secara otodidak dan warisan turun temurun yang dimiliki oleh hampir semua
perempuan dewasa yang tinggal di desa berpenduduk lebih dari empat ribu jiwa
tersebut. Namun, keterampilan mengolah benang menjadi kain ini hingga tahun
2015 silam masih menjadi sekedar kegiatan pengisi waktu luang karena tak
menjanjikan pendapatan yang memadai. Selain meminjam uang dari rentenir untuk
membeli bahan benang dengan bunga menjerit, masalah sulit memasarkan secara
cepat kain hasil tenun menjadi faktor penghilang motivasi penenun.
“Sekarang kami bergairah untuk bertenun sarung setiap saat”,
kata Ramlah salah seorang penenun tradisional di Desa Leu. Kini pengrajin tenun
menjadi pilihan profesi yang menjanjikan penghasilan memadai tanpa susah payah
memasarkan kainnya.
Benar saja, BUMDesa Landoli Desa Leu yang dibentuk pada pertengahan
tahun 2016 lalu membawa manfaat langsung pada kerajinan tenun sarung
tradisional didesa mereka. Dengan modal awal 30 juta dari Desa yang
dialokasikan dalam APBDes 2016 sumber Dana Desa (DD), BUMDesa membebaskan para
penenun dari jeratan bunga tinggi oleh rentenir, dan sekaligus BUMDesa menjadi
pembeli kain hasil penentun.
Kehadiran BUMDesa merubah pola kebiasaan para penenun,
dengan melembagakan mereka dalam lima kelompok berdasarkan dusun domilisi
mereka. Dengan kelompok-kelompok penenun tersebut, BUMDesa kemudian membantu
kebutuhan bahan benang yang akan dikembalikan oleh penenun dalam bentuk kain
kepada BUMDesa. Setiap penenun diberikan 120 ikat benang lima warna, dengan
benang tersebut penenun dapat memproduksi sebanyak tiga kain tembe (sarung)
Nggoli. Sementara kepada penenun yang berbeda diberikan 150 ikat benang
berbagai warna untuk penenun kain Salungka, yang nantinya akan menghasilkan
tiga kain Salungka.
Metode usaha BUMDesa cukup sederhana. Dengan membantu 120
ikat benang tembe Nggoli, yang nantinya penenun akan membayar kembali dengan satu
kain tembe Nggoli. Begitu juga dengan 150 ikat benang Salungka, penenun akan menyerahkan
satu kain Salungka kepada BUMDesa Landoli. Tak berhenti disitu, BUMDesa pun
membeli dua kain tembe Nggoli maupun dua kain Salungka sisa yang menjadi hak
milik penenun, sehingga penenun tak perlu lagi repot memasarkannya.
BUMDesa yang dipimpin oleh pemuda rajin bernama Muhamad
Irfan, S.Pd ini serius mengangkat produk kain khas daerahnya dengan membuat
kotak pecking yang menarik. Selain sebagai menambah taya tarik pembeli, pecking
merupakan pengakuan branding atas hasil keterampilan masyarakat Leu. Dan tentu
saja nilai ekonomis kain tembe nggoli dan salungka pun naik hingga 20 persen
dari harga jual penenun, menjadi ruang BUMDesa mendapat keuntungan dalam jenis
usaha sederhana ini.
Keberhasilan BUMDesa memetakan potensi desa dan merencanakan
usaha mendapat apresiasi dari masyarakat dan Pemerintah Desa. Hal tersebut
dibuktikan dengan teralokasikannya kembali penambahan modal dari APBDes TA.
2017 sebesar Rp. 50 juta. Kini BUMDes telah mengembangkan jenis usaha jasa
pembayaran online bekerjasama dengan PT. POS Indonesia berupa pelayanan pembayaran
listrik prabayar, penjualan pulsa token listrik, penjualan paket pulsa
handpohone, dan pembayaran kredit. Prestasi kecil BUMDesa ini memberi harapan
besar untuk membantu meningkatkan perekonomian desa, mendorong geliat usaha
masyarakat, menciptakan peluang dan jaringan pasar, membuka lapangan kerja,
meningkatkan pendapatan masyarakat serta memberikan dukungan pendapatan asli
desa (PADes). Muara akhirnya, BUMDesa menjadi penopang terbangunnya pondasi
desa menuju desa maju, kuat, mandiri, sejahtera dan demokratis.
No comments:
Post a Comment